Title : My Cold Hearted Boyfriend
Author : Lunarcherry
Length : Oneshot
Rating : PG-13
Genre : Romance
Casts : Teen Top Chunji, D-NA Karam, Jung Seulri
‘Dia itu, dilihat dari sudut pandang manapun bukanlah cowok impianku. Dia terlalu pendiam, dingin, cuek, dan kadang-kadang terkesan egois. Tapi entah kenapa aku mau pacaran dengannya’.
“Bagaimana?”.
“Mmm?”.
“Jangan cuma berdeham saja. Lihat itu”, aku menunjuk tumpukan surat-surat di atas meja Chunji. Tadi pagi surat-surat itu dititipkan fans-fans Chunji padaku.
Chunji melihat tumpukan surat-surat itu sebentar, kemudian kembali mencorat-coret notenya tanpa mengatakan apa pun.
“Chunji-ya!”, panggilku dengan nada kesal.
Chunji bangkit dari kursinya, kemudian berdiri tepat di depanku. “Lain kali tidak usah diterima. Aku tidak suka. Oke?”. Setelah itu, ia langsung melangkah pergi dari ruang OSIS ini, meninggalkan tumpukan surat-surat itu padaku. Aku menghela nafas dalam-dalam. Jadi…apa yang harus kulakukan pada surat-surat itu? Kubawa pulang? Kubaca satu-satu? Atau…kubuang ke tempat sampah? Ah, rasanya jahat sekali kalau aku membuangnya. Lebih baik kubawa pulang saja.
Sambil memberesi surat-surat itu, aku berdecak kesal, masih tidak bisa percaya kalau dia itu pacarku. Ya, Chunji adalah pacarku. Orang paling populer di sekolah sekaligus ketua OSIS pujaan gadis-gadis itu adalah pacarku. Tapi aku masih tidak bisa percaya aku pacaran dengannya. Dia itu, dilihat dari sudut pandang manapun bukanlah cowok impianku. Dia terlalu pendiam, dingin, cuek, dan kadang-kadang terkesan egois. Dulu kukira setelah aku menerima pernyataan cintanya, sikapnya itu akan berubah. Tapi ternyata tidak.
***
Dear Chunji,
Annyeong Chunji-ya, ottoke jinaeyo? Hari Sabtu nanti kamu ada acara? Kalau tidak ada, ayo kita nonton pesta kembang api bersama. Atau…kamu punya janji dengan pacarmu? Ah, kuharap kamu belum punya pacar. Hehehe.
Chunji-ya, kamu terlihat sangat keren dengan sikap dinginmu itu. Noona benar-benar suka. Gadis yang jadi pacarmu nanti pasti sangat beruntung. Dan kuharap gadis itu adalah noona.
Kau harus balas suratku ini Chunji-ya. Aku akan menunggu jawabanmu tentang acara Sabtu nanti, oke? Bye Chunji. Chu~
Hyuna ^^
Aku tertawa membaca surat ini. Aigoo, bukankah ini sama saja menembak Chunji? Mereka benar-benar tidak sadar kalau Chunji sudah punya pacar.
Yap, hubungan cintaku dengan Chunji memang diam-diam, tidak ada yang tahu selain kami berdua. Selama ini, orang-orang mengira hubungan kami hanya sebatas ketua OSIS dan wakil ketua OSIS yang bersahabat. Begitulah perjanjianku dengan Chunji. Kenapa? Karena kalau sampai terbongkar, aku akan jadi bulan-bulanan siswi lain, menjadi orang no.1 yang punya paling banyak musuh di sekolah, dan tentu saja berita hubungan kami akan menjadi hot news di majalah dinding sekolah. Aku tidak menyangka resiko pacaran dengan ketua OSIS itu akan sebegitu dahsyatnya.
Drrrtt~ Drrrtt~
Ponselku bergetar. Aku segera mengambilnya dari meja dan membaca nama yang tertera di layar. Chunji menelepon.
“Yoboseyo?”.
“Surat-surat tadi kamu bawa pulang?”.
“Ne”.
Chunji menghela nafas. “Kamu membacanya?”.
“Errrr…ne”, jawabku bingung. Pertanyaan Chunji tadi membuatku merasa telah berbuat lancang karena membacanya tanpa ijin.
“Besok bawa semuanya ke sekolah ya?”, ucapnya dingin, seolah bukan sedang bicara pada pacarnya.
“Tadi kan kamu tinggalkan di ruang OSIS semua, jadi kubawa pulang saja”, jawabku cuek.
“Iya,makanya besok bawa ke sekolah. Sudah ya”—klek, telepon ditutup begitu saja.
Aih, apa-apaan itu? Chunji bicara seolah-olah aku bukan pacarnya saja. Menanyakan aku sudah makan malam apa belum saja tidak. Apa dia benar-benar tidak bisa bersikap lebih hangat sedikit? Aku kan pacarnya. Setidaknya dia harus memperlakukanku lebih hangat dan istimewa dari yang lain.
Drrrt~ Drrrt~
Ponselku bergetar lagi saat aku baru saja mau melanjutkan membaca surat. Kali ini SMS—dari Karam.
From : Karam
Seulri-ah, sudah makan malam? Kalau kau mau, ayo kita makan malam.
Omo, Karam mengajakku makan malam? Mmm, aku jadi merasa aneh. Chunji yang merupakan pacarku sendiri saja tidak menanyakan aku sudah makan malam atau belum, tapi Karam yang cuma temanku justru menanyakannya. Kenapa? Apa Chunji sudah tidak peduli padaku lagi? Sudah tidak sayang padaku lagi? Tidak. Aku tidak boleh berpikiran buruk seperti itu pada Chunji.
To : Karam
Mainhaeyo, aku sudah makan. Lain kali saja ya.
Segera kutekan tombol Send. Tak lama kemudian, sms Karam masuk lagi.
From : Karam
Begitu ya. Baiklah lain kali saja.
***
“Seulri-ah, ada yang mencarimu”, teriak Jia dari pintu kelas. Aish, suaranya nyaring sekali.
“Nugu?”.
“Chunji”, begitu Jia mengucapkan nama itu, seisi kelas, terutama cewek-cewek langsung menoleh padaku dan menatapku dengan curiga. Mereka langsung bersikap waspada, seolah-olah aku adalah orang jahat yang akan merebut Chunji.
“Ne”, aku segera mengambil surat-surat dari tas dan membawanya pada Chunji.
“Kenapa kau menemuiku di sini? Kan bahaya kalau mereka tahu kita…”.
“Aku sedang sibuk”, jawab Chunji dengan sangat singkat sambil meneliti nama yang tertera di amplop-amplop surat itu satu per satu.
“Kau mencari apa?”.
“Kau sudah membaca semua surat ini?”, Chunji mengacungkan surat-surat yang semua tutup amplopnya sudah kusobek itu.
“Mmmm—maaf”, cuma itu kata-kata yang bisa kuucapkan setelah melihat sorot matanya yang dingin. Dia marah. Chunji marah padaku. Aku kenal sorot matanya yang seperti itu.
Tidak ada kata-kata lain dari Chunji setelah itu karena dia segera berbalik dan pergi ke kelasnya. Aku terdiam membisu. Perasaan bersalah, sedih, kecewa, dan takut segera menyelubungiku. Aku sudah membuatnya marah.
Membalikkan badan, aku pun terlonjak kaget melihat beberapa teman sekelasku—yang terkenal sebagai fans berat Chunji—berkerumun di ambang pintu. Mereka semua menatapku dengan sinis.
“Ya, apa yang kau lakukan dengan Chunji?”, tanya Hara, teman sekelasku yang terkenal galak. Siswi-siswi yang lain menatapku dengan penuh antisipasi.
“Tidak ada. Aku cuma menyerahkan surat-surat fans Chunji yang dia tinggalkan di ruang OSIS kemarin”.
“Bohong! Kami mendengar semua percakapanmu dengan Chunji. Cepat ceritakan pada kami!”, ucap Sohee dengan nada kasar.
“Sudah kubilang aku cuma menyerahkan surat-surat”, belaku.
“Bohong! Kau ada sesuatu kan dengannya?”.
“Kau menyukai Chunji kan?”.
“Chunji itu milik kami!”.
“Pergi dari Chunji!”.
“Kau tidak pantas jadi wakil ketua OSIS”.
Serentetan kalimat menyudutkan itu akhirnya membuatku tidak tahan untuk tidak membentak mereka.
“Diam!! Jaga mulut kalian!! Aku tidak ada apa-apa dengan Chunji!!”, bentakku keras-keras. Mereka melotot, sepertinya terkejut melihat sikapku yang tiba-tiba berubah. Biasanya aku akan santai menghadapi orang-orang seperti mereka, bersikap lembut dan mengelak dengan halus. Tapi kali ini tidak. Aku merasa lelah. Aku lelah pada Chunji. Aku lelah pada orang-orang seperti mereka. Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi berada dalam keadaan seperti ini. Lebih baik aku pergi sekarang juga.
Berlari menyusuri koridor sekolah, seseorang tiba-tiba menarik tanganku. Aku menoleh.
“Karam?”
“Seulri, kau mau kemana?”.
“Lepaskan! Aku mau pergi!”.
“Jangan! Kau tahu ini masih jam sekolah…”.
“Aku tahu. Lepaskan, aku mau pergi!”, aku menarik-narik tanganku dari genggaman Karam, tapi sia-sia. Ia terlalu erat mencengkeramku.
“Kalau begitu aku akan ikut denganmu”, ucapnya tiba-tiba. Aku terkejut dan seketika menatap matanya.
“Jangan bicara yang tidak-tidak. Ini bukan urusanmu, Karam. Ini tidak ada hubungannya denganmu”.
“Sekalipun itu bukan urusanku, selama itu ada hubungannya denganmu, aku akan berusaha untuk selalu ada di sampingmu”, ucap Karam dengan serius. Kami berpandangan sesaat.
“Terserah”.Aku menyentak tangannya, dan dengan satu sentakan itu berhasil membuatnya melepaskan tanganku. Aku berlari menuruni tangga. Karam mengikutiku di belakang.
“Kau kenapa?”, tanya Karam saat kami sudah ada di kebun sekolah.
“Hara dan teman-temannya…mereka menuduhku ada hubungan dengan Chunji”, jawabku pelan sambil memainkan daun-daun pohon jeruk yang masih tidak terlalu tinggi.
“Bukannya memang begitu?”.
Aku terkejut dan spontan menoleh pada Karam yang berdiri menyandar di pohon lain, menatapnya dengan tatapan penuh tanya.
“Jangan terkejut begitu. Aku tahu semua. Kau dan Chunji pacaran kan?”.
“Mwo? Bagaimana kau bisa tahu?”.
“Karena aku selalu memperhatikanmu”, Karam tersenyum. “Kenapa kalian tidak jujur saja?”.
“Jangan bercanda. Aku bisa jadi bulan-bulanan siswi lain kalau sampai mengatakannya. Kau tahu kan, bagaimana Chunji di mata mereka”, aku kembali memainkan daun jeruk di hadapanku, menyobeknya menjadi kecil-kecil. Warna hijau mereka yang fresh membuatku merasa sedikit lebih baik.
“Ya, aku tahu. Tapi kalian tidak mungkin menyembunyikannya terus-terusan. Toh lama-lama orang lain juga akan tahu. Menurutku lebih baik kalau kalian segera membongkarnya. Fans-fans Chunji pasti lambat laun akan menerima hal itu”, ucap Karam panjang lebar.
“Kenapa…?”, ujarku lirih.
“Mm?”.
“Kenapa kau bicara seperti itu?”, tanyaku lirih sambil menatap Karam dalam-dalam. Karam lagi-lagi tersenyum santai, kemudian berjalan mendekatiku.
“Karena aku kasihan melihatmu menghadapi sikap dingin cowok itu”.
“Kau…melihatnya?”, aku terkejut. Karam mengangguk.
“Ne. Kenapa dia marah padamu? Apa ada sesuatu dengan surat-surat itu?”.
“Tidak tahu”, aku mengendikkan bahu. “Kemarin aku membacanya, dan sepertinya tidak ada sesuatu yang aneh. Cuma surat-surat dari fans seperti biasa”.
Suasana hening sesaat. Hembusan angin membuat daun-daunan di kebun sekolah ini bergoyang.
“Chunji itu sangat dingin. Aku sebal padanya. Dia memperlakukanku seolah-olah aku ini bukan pacarnya. Tidak perhatian, tidak hangat. Aku capek menghadapi sikapnya yang seperti itu”, tiba-tiba aku mengatakan semua keluh kesahku pada Karam. Entah kenapa aku mulai merasa nyaman dan aman untuk bercerita padanya.
“Kalau begitu kenapa kau mau pacaran dengan dia?”, tanya Karam.
Aku terdiam, sedikit merenung sebelum berkata “Karena aku sangat mencintainya”.
Karam tertawa. “Hahaha, begitu ya? Kalau begitu mungkin aku harus berhenti menunggumu”.
“Mwooo? Apa maksudmu???”.
“Seulri…”, Karam membalikkan badan dan meletakkan tangannya di kedua bahuku. “Aku mencintaimu. Kau dengar? Aku mencintaimu”.
Aku terkejut bukan main, sangat terkejut. Entah sudah berapa kali Karam membuatku terkejut hari ini. Tapi kata-katanya barusan benar-benar tidak bisa dipercaya.
Perlahan-lahan Karam mendekatkan wajahnya padaku. Wajah kami semakin mendekat, dan aku masih terpaku, tidak bisa bergerak. Hembusan angin membuatku ingin menutup mata.
“Ah lupakan saja”, ucap Karam tiba-tiba. Ia memundurkan wajahnya dari wajahku, kemudian melepaskan tangannya dari bahuku. “Aku tidak akan menciummu karena kau bukan milikku. Kau milik Chunji”.
Aku menundukkan kepala, malu dengan sikapku yang hampir saja mau dicium olehnya. Benar kata Karam. Aku milik Chunji, bukan dia. Dan aku memang hanya mencintai Chunji seorang. Peristiwa tadi, aku hanya sedikit terbawa suasana.
“KARAM!! SEULRI!! APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SANA?? CEPAT MASUK!! KALIAN BOLOS JAM PELAJARAN YA??”, bentakan Kangin songsaenim yang berdiri di pinggir kebun membuat kami kaget. Aku dan Karam berpandangan sesaat, kemudian tertawa kecil sebelum akhirnya berjalan ke arah songsaenim dan siap untuk dihukum.
***
“Terima kasih”, ucapku pada kasir supermarket. Aku berjalan keluar supermarket sambil menenteng sebuah tas kresek berisi bahan makanan. Omma menyuruhku untuk belanja bahan makanan malam ini. Karena sepertinya mau hujan, aku memutuskan untuk pulang lewat jalan yang lebih pendek, melewati jalan-jalan kecil yang sedikit gelap.
“Hey kau, gadis cantik! Sedangkan apa kau kemari?”, suara serak seorang laki-laki tiba-tiba mengagetkanku. Aku menoleh dan mendapati 3 orang pemuda dengan dandanan ala preman sedang berdiri di belakangku.
“Mau apa kalian??”, aku melangkah mundur karena mereka berjalan mendekatiku.
“Ternyata kau berani juga ya? Kemarilah, kau tidak perlu takut seperti itu”, salah satu pemuda itu tiba-tiba langsung menyergap tanganku dan menarikku. Ia merebut tas kresek yang kubawa dan membuangnya sembarangan.
“Lepaskaaann!!! “, aku berontak, tapi tangan pemuda itu masih mencengkeramku erat. “Lepaskan!! Kalau tidak, akan kulaporkan kalian pada polisi!!!”.
“Hahahaha, begitu ya? Lucu. Lucu sekali. Sayangnya kau tidak akan punya kesempatan untuk melakukannya”, pemuda yang lain juga ikut mencengkeram tanganku, sedangkan yang satu lagi kini berdiri tepat di depanku. Orang itu menyentuh daguku dan mengangkatnya agar aku menatapnya.
“Cantik sekali”, orang itu mendekatkan wajahnya sampai-sampai bau alkohol tercium dari nafasnya olehku.
Cih. Aku melemparkan ludah ke wajahnya.
Orang itu membelalakkan mata, terkejut. Ia mengusap pipinya yang kena ludahku, kemudian melotot.
“Dasar gadis kurang ajar!!”, orang itu mengangkat telapak tangannya tinggi-tinggi, siap mengayunkannya ke pipiku. Aku memejamkan mata ketakutan.
“Awas bos!”—-Bruukkk!!!
Hah? Suara apa itu? Apa yang terjadi?
Kubuka mataku, melihat ke sekeliling. Orang yang tadi berdiri di depanku kini terkapar ambruk.
“Chunji?”, aku membelalak kaget melihat Chunji berdiri di depanku. Ia mengacungkan batang kayu yang sepertinya baru dipakai untuk memukul. Raut wajahnya seperti biasa, dingin.
“Hey, apa-apaan kamu? “, tanya salah seorang preman yang mencengkeram tanganku. Karena sepertinya mereka sedang tidak fokus, aku menyentak tanganku dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman mereka.
“Chunji”, aku berlari mendekatinya. Ia menarik tanganku dan menyembunyikanku di balik punggungnya yang masih terbalut seragam sekolah. Setelah itu, kedua preman itu berlari ke arah kami dengan marah. Chunji segera mendorongku menjauh, tapi dorongannya malah membuatku jatuh. Tanpa mempedulikanku, ia membuang batang kayunya dan berlari ke arah dua pemuda garang itu. Setelah itu, terjadilah perkelahian 2 lawan 1. Salah seorang pemuda itu meninju perut Chunji, kemudian menyikut punggungnya. Tapi Chunji juga tidak limbung begitu saja. Ia mengeluarkan kemampuan bela dirinya yang belum pernah kulihat.
Tapi bagaimana pun, 2 lawan 1 itu tidak adil. Chunji mulai kewalahan menghadapi 2 pemuda itu. Ia mulai ambruk, salah seorang pemuda itu mengayunkan kepalan tangannya ke pipi Chunji.
“Argh!”.
“Kau mau ikut campur urusan kami lagi, hah?”, pemuda yang lain meletakan kakinya di atas perut Chunji, menekannya hingga Chunji terlihat kesakitan.
Bruk! Satu kepalan mengayun lagi ke pipi Chunji.
“Aakh!”.
Melihat hal itu, aku tidak bisa lagi tinggal diam. Segera kuraih batang kayu yang tadi dilempar Chunji, berlari ke arah kedua preman itu, kemudian mengayunkan tongkat itusekuat tenaga ke kepala pemuda yang menginjak Chunji.
“Aaargh!!”, pemuda itu memegangi kepalanya, kemudian limbung. Pemuda yang satunya lagi melotot ke arahku, memandangku dengan sikap ingin memangsa. Ia berjalan menghampiriku, tapi Chunji segera bangun dan menarik baju pemuda itu hingga ia jatuh ke tanah. Chunji menarik kerah baju pemuda itu dan meninjunya berulang kali.
“Chunji, hentikan! Ayo kita pergi!”, aku menarik lengan Chunji, kemudian kami segera pergi dari gang mengerikan itu, meninggalkan 3 pemuda preman itu terkapar di sana. Chunji yang sepertinya masih kesakitan, harus kupapah jalannya.
“Chunji, kau tidak apa-apa?”, tanyaku karena melihat ia meringis memegangi perutnya.
“Tidak apa-apa, chagi…”.
Tiiiiin tiiiiiin~, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di samping kami.
“Astaga, kalian. Apa yang terjadi?”, Karam keluar dari mobilnya. “Ayo cepat masuk. Sepertinya Chunji harus dibawa ke rumah sakit”, ucap Karam padaku. Aku mengangguk, kemudian kami berdua membantu Chunji masuk ke mobil. Karam mengantar kami ke rumah sakit. Setibanya di sana, para dokter segera bertindak cepat.
***
“Chunji, gwenchana?”, tanyaku. Chunji membuka matanya, kemudian mengerjap sebentar. Cahaya matahari pagi yang menembus tirai jendela kamar mungkin membuatnya silau.
“Chagi…”, ia berusaha bangun. “Aku tidak apa-apa. Kamu sendiri?”.
“Aku juga tidak apa-apa. Kamu mau makan apa? Biar aku belikan. Dari kemarin malam kamu tertidur dan belum makan”, aku bangkit dari kursi, tapi Chunji menarik tanganku.
“Jangan pergi, di sini saja. Aku takut berandalan itu menyakitimu lagi”, ucapnya. Aku tersenyum melihatnya. Kata-katanya membuatku merasa hangat.
“Tenang saja chagi, polisi sudah meringkus mereka kemarin malam”.
“Tapi kau tidak usah pergi. Aku…aku mau minta maaf”, ucap Chunji lirih. Aku mengerutkan kening.
“Minta maaf tentang apa?”.
“Karena sikapku akhir-akhir ini. Kau marah padaku kan?”, Chunji mengeratkan genggaman tangannya padaku.
“Mm? Bagaimana kau…”.
“Karam mengatakannya padaku. Kemarin ia memarahiku karena sudah membuatmu kesal”. Ia diam sebentar. “Maaf…akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dengan tugasku sebagai ketua OSIS, sampai-sampai aku lupa memperhatikanmu”, ucapnya dengan nada menyesal.
“Chagi, sudahlah, aku tidak apa-apa. Aku tahu kau sangat sibuk dengan tugasmu sebagai ketua OSIS. Kemarin aku cuma sedikit kesal karena Hara dan teman-temannya menyudutkanku”, kataku.
“Kalau begitu mulai sekarang kau tidak perlu disudutkan lagi”, ia tersenyum.
“Maksudmu?”.
“Mulai sekarang, aku tidak ingin hubungan kita dirahasiakan. Aku ingin semua orang tahu kalau Seulri adalah pacar Chunji”, ia tersenyum. Aku sedikit ragu dengan keputusannya, tapi entah kenapa aku juga yakin kalau keputusannya itu akan membawa kami ke arah yang lebih baik.
“Baiklah…”, aku menganggukkan kepala. “Tapi ada 2 hal yang mau aku tanyakan padamu”.
“Mwo?”.
“Yang pertama, kenapa kamu marah saat aku membaca surat-surat itu? Jangan-jangan kamu selingkuh ya?”, aku menuduhnya sembarangan. Bukannya marah, Chunji malah tertawa.
“Tentu saja tidak. Aku Cuma tidak mau kamu cemburu karena surat-surat penggemar itu”. Oh, jadi ternyata itukah alasannya? Chunji…aku tidak menyangka kau sampai berpikir seperti itu.
“Lalu bagaimana kamu bisa menemukanku di gang itu?”.
“Waktu itu aku pergi ke rumahmu untuk minta maaf, tapi ibumu bilang kau ke supermarket. Karena sepertinya mau hujan, jadi aku lewat jalan tembus. Ternyata kau malah sedang berempatan dengan preman-preman itu”, ia menggodaku. Aku langsung memukul bahunya.
“Aduh sakit! Kamu lupa bahuku ini kemarin dipukul?”.
“Oh ya? Aku lupa”, aku menjulurkan lidah. Tiba-tiba Chunji menarikku sampai aku hampir jatuh di depannya, kemudian mengecup keningku.
“Seulri-ah…saranghaeyo…”.
Aku tersenyum. “Mmm, na do saranghaeyo…”.
***
Lorong kelas langsung terasa sepi. Semua siswi yang ada di lorong melihat kami dengan tatapan ganas, menakutkan, tidak rela, dan sebal. Beberapa lainnya menggerutu saat melihat Chunji berjalan sambil menggandeng tanganku. Yap, hari ini adalah hari pertama Chunji masuk sekolah setelah keluar dari rumah sakit. Dan hari ini juga kami akan membongkar rahasia tentang hubungan kami.
“Chunji-ah, dia pacarmu?”, celetuk salah seorang siswa. Chunji tersenyum dingin, kemudian berkata, “Ne, Seulri adalah pacarku”.
Aku tersenyum malu. Hari baru telah dimulai. Hari dimana hubunganku dengan Chunji akan menjadi topik panas di sekolah. Mungkin semuanya akan lebih berat untuk ke depannya. Tapi aku tidak peduli. Semuanya akan aku hadapi berdua dengan pacarku yang berhati dingin, Chunji.
————–End————————————————
Tidak ada komentar:
Posting Komentar